26 Agustus 2012
Eomma, masih lekat
di benakku saat-saat itu. Dengan berurai air mata akhirnya kau melepas puteri
manjamu ini sendiri di sini. Berbekal nasihat dan doa-doa indah kau biarkan
puteri malasmu ini mulai belajar berjalan sendiri menapaki kehidupan baru yang
jauh darimu. Jangan lupa sholat. Obatnya diminum. Mandinya pake air hangat.
Jangan pulang malam. Ahh cerewet sekali kau, eomma. Kau tau, aku tak ingin melakukan semua pesanmu itu karena
aku ingin tetap mendengar suara cerewetmu yang aku artikan kau sangat perhatian
padaku.
Eomma, saat kau
melepaskan pelukanku dan melambaikan tangan padaku, sejak saat itulah aku tak
berhenti menangis. Aku merasa sendiri di sini, eomma. Aku merasa tak punya siapa-siapa. Aku bingung apa yang harus
aku lakukan di sini. Mampukah aku menjalani tiap detikku di sini tanpa suara
cerewetmu? Mampukah aku terus semangat tanpa kehadiran saudara-saudaraku di sini?
Aku benar-benar seperti kehilangan arah. Namun aku teringat selalu kata-kata
darimu. Aku pasti bisa menjalani ini semua. Di sini aku tak sendiri. Aku bersama
doa dan harapanmu, eomma.
18 November 2012
Eomma, aku iri pada teman-temanku. Tiap minggu bahkan tiap
hari orang tuanya menelpon mereka, menanyakan kabar, ngobrol ini itu. Aku iri. Kapan
kau akan menelponku? Aku rindu. Tapi setelah berpikir berulang kali aku
mengerti kenapa kau tak pernah menelponku. Aku tau kau tak ingin mnegganggu
aktivitasku di sini dengan kecerewetanmu karena kau telah percaya bahwa puteri
manjamu ini akan baik-baik saja di sini. Kau hanya bertanya “minggu ini pulang
gak?” lewat sms kakakku. Aku tau yang kau ingin lebih dari sekedar mendengar
suaraku tapi kau ingin melihatku.